Telah meranggas sekujur badan setelah kau tinggalkan, tak tersisa Ditelantarkannya mimpi dan rencana ke sepanjang jalan yang tak dilalui lagi berdua Dengan sesal yang masih menghias pusara Pemakaman jiwa yang pernah kau hidupkan Sekumpulan kecewa dari hal-hal yang kita janjikan Musnah Terukir dalam batin yang mengais hadir Terkunci dalam darah yang mengalir getir Meletus Menjadi perayaan dalam kelam yang bersulang Meluap dalam keranda penuh belati yang menancap tulang Remuk Tak ada lagi yang bisa dicerna dari hari-hari tanpa renjana
Terbit sang fajar pun tak ubahnya kekacauan yang menyilaukan Gemerlap yang sama sekali tak kuinginkan Menggelapkan sadar yang tersisa dari segala yang bisa disaksikan mata Namun apa daya Katamu aku bukan lagi cahaya Aku bukan lagi alasanmu menapaki dunia Kau pergi dalam sesak penuh tanya Sebelum aku bisa menawarkan manis untuk setiap lara yang kau derita Simpuh Tak berhenti aku meminta untuk kembali kau beri rasa Doa-doa telah meracau menunggu ampunan dosa yang justru membuatmu kian jauh Tak tersentuh, luruh, menyisakan separuh Dengan jantung yang kehilangan darah menuju pembuluh Mengucur Sebagai penanda jalan untuk kau kembali Menjadi irama yang selama ini menghidupi denyut nadi Telak Menusuk dan mengoyak Menjadi kuasa di kehampaan yang tak terendus bahagia Dengan batin bersikukuh, kelak engkau akan luluh Maka Sebelum akhirnya segala tentangku hanya bisa kau kenang sebatas nama Ingat lagi singgasana yang pernah kau tempati sebagai permaisuri di istana yang kita Bangun selama ratusan hari Datanglah Walau merupa duri yang menambah darah Walau menjelma buih yang mengorek nanah Kau akan tetap aku sambut dengan perayaan paling meriah ♪ Dengarkanlah Pesan lara yang kunyanyikan dalam keheningan Berharap sampai ke sana ♪ Tak kan lelah menanti Menunggu datang hari Kita bersua lagi Merayakan patah hati Tak kan lelah menanti Menunggu datang hari Kita bersua lagi Merayakan patah hati