Matahari terlalu pagi mengkhianati Pena terlalu cepat terbakar Kemungkinan terbesar sekarang, memperbesar kemungkinan pada ruang Ketidakmungkinan Sehingga setiap orang yang kami temui Tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan Untuk berkata tidak mungkin Tanpa darah mereka mengering Sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi Sebelum semua paru disesaki tragedi Dan pengulangan menemukan maknanya sendiri Dalam pasar, dalam limbah dan kotoran Atau mungkin dalam seragam sederetan nisan Kita pernah bernazar untuk menantang awan Menantang langit dengan kalam-kalam terhunus Hingga hari-hari penghabisan Tanpa pretensi apapun untuk Mengharapkan surga dan neraka di atas semua Kita berangkat dengan rima dan kopi secawan Berkawan dengan bentangan kalam yang menantang awan Menggalang pijakan dari hulu waktu yang membidani zaman Dimana microphone digenggam dengan hasrat menggantang ancaman Mengkafani kawanan serupa lalat dari pusat pembuangan sampah Bernazar membuat tiran berjatuhan Menyisakan potongan kalimat profane berceceran Dengan luka sayat dari medan puputan Kita tantang kutukan, kita kutuk pantangan Sehingga setiap angan parallel dengan surga-neraka dan dalil langitan Serupa komando yang meluncur dari mabes hingga koramil Serupa toxin yang berselancar pada darah sebelum maut menjemput Munir Menyisir petaka yang membiarkan mereka menggadaikan pasir Pada pantai, pada bumi, yang penuhi oleh barcode dan kasir Yang hibahkan filsafat pada para vampire Pada mereka yang memlabeli setiap oponen dengan stempel kafir Pada mereka yang datang pada malam terkelam Saat cahaya hanya datang dari belukar di tengah makam Kita pernah sisakan harapan yang esok siap cor menjadi belati Pikulan beban yang serupa pitam yang kembali berhitung dengan mentari Dengan tangisan bayi yang mengajarkan kembali bagaimana menari Bagaimana mengingat janji dan mengepalkan jemari Bagaimana seharusnya hari-hari berbagi api Bagaimana menyulutnya pada nadi dan mengumpulkan nyali Dan semua darah bertagih telah kita bayar lunas Sejak kalimat angkara kita terlanjur menjadi lampiran kajian lemhanas Kau dan aku tahu pahlawan tidak lagi datang dari kurusetra Namun dalam bentuk donasi mie instant di tengah bencana Sejak tanah basah ini menagih janji mata yang dibayar mata Sejak mata sungai menagih suara mereka yang hilang di ujung desa Sejak kebebasan hanya berarti di hadapan kotak suara Sejak para ekonom memperlakukan nasib serupa statistik ramalan cuaca Telah khatam kita baca semua analisa semua neraca Semua muslihat tai kucing yang membenarkan semua prasangka Kita belajar membaca gejala dari jelaga Pada malam-malam terhunus dan waras-waras kita terjaga Memaksa tidur sengan satu kelopak mata terbuka Menahan pitam tanpa riak serupa telaga Serupa hasrat yang dipertahankan setengah mati tetap menyala Pada setengah hidup kita yang mengalir mencari muara Sehingga Udara membutuhkan amis darah agar sirine tetap mengalun Agar waras diingatkan wabah yang akut menahun Tentang paghut yang santun Yang memusuhi pantun Yang membakar habis hasratmu setelah dipaksa dipasung Mungkin kau akan ingat tentang petaka yang dalam Hitungan kurun waktu singkat berubah menjadi rahmat Merubah alam alam bawah sadar hingga terbiasa dengan mayat Sekarang mengubahmu kasat di depan deretan kalimat Bergabung dengan para mata yang terang bersama pekat Serupa kepastian, serupa asuransi Serupa janji yang memprediksi dimana kau suatu hari nanti dengan pasti Sehingga semua pertanyaan kau tinggal mati Sehingga rimaku hari ini dan terompet israfil dapat bertukar posisi Dan menantang mentari